Pertanian adalah nadi kehidupan manusia. Di sektor itulah ketersediaan pangan manusia digarap. Di tengah ingar-bingar isu perubahan iklim, dampaknya terhadap pertanian secara langsung akan mengancam kehidupan manusia apabila tak segera disikapi dengan laku adaptif.
Perubahan wajah pertanian Indonesia dapat diamati dari potret pertanian sejak tahun 1970-an hingga sekarang, seperti tertuang dalam buku Membaca Jejak Perubahan Iklim (Civil Society Forum, 2009).
Pertanian yang semula dihidupi oleh sentuhan local genius (kearifan lokal) secara perlahan tapi pasti bergeser cirinya seiring perkembangan ekonomi Indonesia yang ”menjeratkan diri” pada tatanan global.
Pertanian yang semula banyak diurus oleh rakyat dengan tatanan kulturalnya sendiri, pada tahun 1970-an mulai diperkenalkan pada sentuhan modernisasi yang berpuncak pada Revolusi Hijau. Hasilnya menakjubkan: Indonesia menjadi negara dengan swasembada beras di tahun 1985-1988 (Membaca Jejak Perubahan Iklim, 2009).
Ketika warisan leluhur menghilang, datanglah ”musuh” baru berupa perubahan iklim yang semakin mengguncang keteraturan masa tanam dan berujung pada menurunnya produksi.
Dampak ikutannya adalah mengeringnya lahan pertanian secara luas, yang bisa diikuti dengan ancaman bencana kelaparan yang meluas di Asia, terutama di negara-negara berkembang. (Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability, Intergovernmental Panel on Climate Change 2007).
Salah satu penyebab
Bukan hanya tertimpa dampak perubahan iklim, pertanian sebenarnya merupakan salah satu penyebab perubahan iklim.
Aktivitas pertanian rupanya menyumbang sekitar 20% gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Gas rumah kaca ini bertanggung jawab pada pemanasan global. Adapun pemanasan global bertanggung jawab terhadap perubahan iklim.
Sektor pertanian memproduksi sekitar 50% gas metana (CH) dan 70 % nitro oksida (NO)—dua dari enam gas rumah kaca dari aktivitas manusia (Technologies, Policies and Measures for Mitigating Climate Change, Intergovernmental Panel on Climate Change, November 1996). Dalam percaturan global, pertanian di negara maju yang telah padat teknologi dapat menyumbang pengurangan emisi CO sebanyak 40%. Produksi biofuel dari perkebunan di negara-negara maju dapat memberikan kontribusi sebesar 32%.
Untuk emisi CH, dengan meningkatkan teknologi pertanian padi, negara-negara maju yang diwajibkan mengurangi emisinya (Annex I) bisa mengurangi emisi global CH 5%.
Pengurangan emisi NO dari pertanian di negara maju bisa mencapai 30% jika penggunaan pupuk nitrogen dikurangi atau dilakukan secara lebih efisien.
Berkaca dari hal-hal di atas, yang dituliskan Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC)—IPCC adalah pihak yang bertanggung jawab secara ilmiah tentang perubahan iklim—Indonesia rasanya tak harus buru-buru menjawab dampak perubahan iklim di sektor pertanian.
Kajian dari berbagai segi: teknis, klimatologis, sosiologis, dan kultural mendesak dilakukan. Untuk itu, semua pemangku kepentingan perlu duduk bersama (tentu) sambil membuka hati....
Perubahan wajah pertanian Indonesia dapat diamati dari potret pertanian sejak tahun 1970-an hingga sekarang, seperti tertuang dalam buku Membaca Jejak Perubahan Iklim (Civil Society Forum, 2009).
Pertanian yang semula dihidupi oleh sentuhan local genius (kearifan lokal) secara perlahan tapi pasti bergeser cirinya seiring perkembangan ekonomi Indonesia yang ”menjeratkan diri” pada tatanan global.
Pertanian yang semula banyak diurus oleh rakyat dengan tatanan kulturalnya sendiri, pada tahun 1970-an mulai diperkenalkan pada sentuhan modernisasi yang berpuncak pada Revolusi Hijau. Hasilnya menakjubkan: Indonesia menjadi negara dengan swasembada beras di tahun 1985-1988 (Membaca Jejak Perubahan Iklim, 2009).
Ketika warisan leluhur menghilang, datanglah ”musuh” baru berupa perubahan iklim yang semakin mengguncang keteraturan masa tanam dan berujung pada menurunnya produksi.
Dampak ikutannya adalah mengeringnya lahan pertanian secara luas, yang bisa diikuti dengan ancaman bencana kelaparan yang meluas di Asia, terutama di negara-negara berkembang. (Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability, Intergovernmental Panel on Climate Change 2007).
Salah satu penyebab
Bukan hanya tertimpa dampak perubahan iklim, pertanian sebenarnya merupakan salah satu penyebab perubahan iklim.
Aktivitas pertanian rupanya menyumbang sekitar 20% gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Gas rumah kaca ini bertanggung jawab pada pemanasan global. Adapun pemanasan global bertanggung jawab terhadap perubahan iklim.
Sektor pertanian memproduksi sekitar 50% gas metana (CH) dan 70 % nitro oksida (NO)—dua dari enam gas rumah kaca dari aktivitas manusia (Technologies, Policies and Measures for Mitigating Climate Change, Intergovernmental Panel on Climate Change, November 1996). Dalam percaturan global, pertanian di negara maju yang telah padat teknologi dapat menyumbang pengurangan emisi CO sebanyak 40%. Produksi biofuel dari perkebunan di negara-negara maju dapat memberikan kontribusi sebesar 32%.
Untuk emisi CH, dengan meningkatkan teknologi pertanian padi, negara-negara maju yang diwajibkan mengurangi emisinya (Annex I) bisa mengurangi emisi global CH 5%.
Pengurangan emisi NO dari pertanian di negara maju bisa mencapai 30% jika penggunaan pupuk nitrogen dikurangi atau dilakukan secara lebih efisien.
Berkaca dari hal-hal di atas, yang dituliskan Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC)—IPCC adalah pihak yang bertanggung jawab secara ilmiah tentang perubahan iklim—Indonesia rasanya tak harus buru-buru menjawab dampak perubahan iklim di sektor pertanian.
Kajian dari berbagai segi: teknis, klimatologis, sosiologis, dan kultural mendesak dilakukan. Untuk itu, semua pemangku kepentingan perlu duduk bersama (tentu) sambil membuka hati....
Artikel di ambil dari : http://www.beonex.co.id/article.php?id=35
Posting Komentar